MAKALAH MUHKAM DAN MUTASYABIH (PENGERTIAN DAN APLIKASINYA DALAM PENAFSIRAN)



MAKALAH
MUHKAM DAN MUTASYABIH
(PENGERTIAN DAN APLIKASINYA DALAM PENAFSIRAN)



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah Studi Qur’an yang  diampu oleh
DR. Moh. Abdul Kholiq Hasan, M.A, M.Ed



DisusunOleh:
1.         Ari Maryanto
O100130019
2.         Sunardi
O100130016
3.         Syarifuddin
O100130035

MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
DAFTAR ISI


PENDAHULUAN
3


A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

1.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Bahasa Arab
4
2.      Penggunaan Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur'an
4


B.     Definisi Muhkam dan Mutasyabih Menurut Ulama

1.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan al-Thabari (310 H)
6
2.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan al-Asy’ari (324 H).
7
3.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan Ibnu al-Jauzi (597 H)
7
4.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan al-Fakhru al-Razi (606 H)
9


C.    Upaya Mengkompromikan Berbagai Definisi

1.      Muhkam Lebih Banyak Daripada Mutasyabih
9
2.      Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi
10
3.      Metode al-Ragib al-Asfahani (502 H)
11
4.      Metode al-Syathibi (790 H)
14


D.    Aplikasi Perbedaan Definisi Muhkam dan Mutasyabih dalam Penafsiran
15
1.      Asal-Usul Perbedaan Pendapat dalam Memahami Mutasyabih
16
2.      Sikap Ulama Terhadap Ayat Mutasyabihat  dalam Tafsir
16
3.      Ayat Sifat Muhkamat dan Mutasyabihat
17


E.     Kesimpulan
19


F.     Daftar Pustaka
20









PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Qur'an adalah pegangan setiap muslim dalam berbagai aspek kehidupan, tidak ada perkara yang ia hadapi melainkan didalam al-Qur'an ada jawaban, hanya saja banyak orang muslim yang tidak mampu memahami kandungan al-Qur'an dengan baik, ini karena ia tidak memaksimalkan usaha dalam memahami al-Qur'an.
Ada banyak tahapan yang harus ditempuh oleh seseorang hingga ia mampu memahami al-Qur’an dengan baik, salah satu tahapan dalam memahami al-Qur'an adalah memahami muhkam dan mutasyabih dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Diantara fungsi memahami muhkam dan mutasyabih adalah agar tidak termasuk orang yang sesat, sebagaimana termaktub didalam al-Qur'an surat Ali Imran ayat tujuh.

RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?
Bagaimana aplikasi muhkam dan mutasyabih dalam penafsiran al-Qur’an?

TUJUAN PENULISAN
Mengerti makna muhkam dan mutasyabih.
Mengetahui aplikasi muhkam dan mutasyabih dalam penafsiran al-Qur’an.



A.  PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH

1.      Muhkam Dan Mutasyabih Menurut Bahasa
Muhkam dalam bahasa Arab berasal dari kata إحكام  (ihkam), kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini memiliki banyak makna, akan tetapi berujung kepada satu makna, yaitu منع (man’u), jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti mencegah, merintangi, dan menolak.[1] Sebagaimana dikatakan أحكم الأمر (ahkamal amra), ia menyelesaikan perkara dengan sempurna dan mencegahnya dari cacat.[2]
Mutasyabih secara bahasa adalah suatu yang serupa satu sama lain, orang yang melihatnya mendapatkan kesamaran pada suatu tersebut.[3] Susunan huruf dalam kata  التشابه (tasyabuh) oleh para Ahli Bahasa digunakan pada kata yang menunjukkan kesamaan dalam rupa dan bentuk yang sering mengakibatkan kesamaran.[4]
2.      Penggunaan Muhkam Dan Mutasyabih Dalam Al-Qur'an  
Kata muhkam dan kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini beberapa kali disebutkan dalam al-Qur’an, diantaranya:
1.      Firman Allah ta’ala Q.S. Hud: 1.
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz
Artinya: “Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”

2.      Firman Allah ta’ala  Q.S. Yunus: 1.
!9# 4 y7ù=Ï? àM»tƒ#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$#  
Artinya: “Alif laam raa. Inilah ayat-ayat al-Quran yang mengandung hikmah.”
3.      Firman Allah ta’ala  Q.S. al-Ra’d: 37.
y7Ï9ºxx.ur çm»oYø9tRr& $¸Jõ3ãm $wŠÎ/{tã 4 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& $tBy÷èt/ x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur 5X#ur 
Artinya: “dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”   
Melalui ayat-ayat diatas dan yang lainnya ditemukan kesimpulan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkam, dengan pengertian sempurna tidak mengandung cacat dan kekurangan pada lafadz dan makna.[5]
Penggunaan mutasyabih kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini beberapa kali disebutkan dalam al-Qur’an sebagaimana muhkam,[6] adapun ayat yang menunjukkan bahwa semua ayat al-Qur’an adalah mutasyabih ada dalam firman Allah ta’ala  Q.S. al-Zumar: 23.
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB
Artinya: “Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)…”
Melalui firman Allah Q.S. al-Zumar: 23 difahami bahwa semua ayat al-Qur’an mutasyabih, dengan pengertian serupa satu dengan yang lainnya dalam kefasihan, mukjizat, tidak saling kotradiksi, keindahan lafadz, dan pengambilan hukum.[7]
Al-Fakhru al-Razi mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam dan seluruhnya mutasyabih, sebagiannya muhkam dan sebagiannya mutasyabih.[8]
Penjelasan diatas telah mewakili apa yang disebutkan oleh al-Fakhru al-Razi, seluruh al-Qur’an muhkam dan seluruhnya mutasyabih. Pada bahasan selanjutnya akan dibahas pendapat Ulama tentang al-Qur’an, sebagiannya muhkam dan sebagiannya mutasyabih. 
B.  Definisi Muhkam Dan Mutasyabih Menurut Ulama
Terdapat banyak pendapat dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyabih, berikut beberapa nukilan pernyataan para Ulama mengenai definisi muhkam dan mutasyabih dalam buku-buku mereka.
1.      Muhkam dan mutasyabih dalam penjelasan al-Thabari (310 H).
Dalam Tafsirnya Imam Ibnu Jarir al-Thabari  menukilkan lima pendapat tentang definisi muhkam dan mutasyabih.
Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam maksudnya adalah ayat-ayat yang diamalkan, seperti ayat yang me-nasakh atau ayat yang menetapkan sebuah hukum, sedang mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diamalkan yang ayat-ayat yang di-nasakh. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Rabi’, Qotadah dan al- Dhahhak.
Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang dengannya Allah ta’ala  kokohkan penjelasan halal dan haram, sedang ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang serupa satu sama lain dalam makna walaupun beda lafadz. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Mujahid bin Jabr.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang tidak bisa ditafsirkan kecuali dengan satu penafsiran, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang multi tafsir. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Muhammad bin Ja’far bin Zubeir.
Pendapat keempat mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang memuat kisah, sedangkan mutasyabih adalah lafadz yang serupa pada saat pengulangan kisah, kadang dikisahkan dengan lafadz berbeda namun semakna, dan terkadang dikisahkan dengan lafadz sama dengan makna berbeda. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Ibnu Zaid.
Pendapat kelima mengatakan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang diketahui oleh para Ulama takwil, makna, dan tafsirnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang tidak mungkin untuk diketahui ilmunya, ia merupakan ilmu yang hanya diketahui oleh Allah saja. Beliau mencontohkan dengan menyebut beberapa misal diantaranya kapan Isa bin Maryam akan turun ke Bumi, kapan Matahari terbit barat, kapan kiamat, dan yang semisalnya. Beliau lebih memilih pendapat ini dan menisbatkannya kepada Jabir bin ‘Abdillah.[9]
2.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan al-Asy’ari (324 H).
Dalam kitab Maqalat al-Islamiyin Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari membawakan lima pendapat tentang muhkam dan mutasyabih dalam kalangan Mu’tazilah.[10] Lima pendapat tersebut secara garis besar tidak keluar dari apa yang telah disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari.
3.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan Ibnu al-Jauzi (597 H).
Saat menjelaskan muhkam dalam al-Qur’an Imam Ibn al-Jauzi membawakan delapan pendapat, semua pendapat tersebut beliau nukilkan dalam tafsir beliau.
Pendapat pertama, nasikh. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Qotadah, al-Suddi, dan yang lain.
Pendapat kedua, halal dan haram. Ini adalah pendapat yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.
Pendapat ketiga, apa saja yang diketahui oleh ulama tafsirnya. Pendapat ini dinisbatkan kepada Jabir bin Abdullah.
Pendapat keempat, ayat yang tidak di-nasakh. Ini adalah pendapat al-Dahhak.
Pendapat kelima, yang tidak berulang lafadz-lafadznya. Pendapat Ibnu Zaid.
Pendapat keenam, ayat yang sendirinya (sudah jelas -pent), tanpa perlu penjelasan tambahan. Pendapat yang disandarkan oleh Abu Ya’la kepada Imam Ahmad. Dalam redaksi lain, Imam Syafi’i dan Ibnu al-Anbari mengatakan bahwa ayat muhkam adalah yang hanya memiliki satu penafsiran.
Pendapat ketujuh, semua ayat al-Qur’an kecuali huruf muqththa’ah yang berada diawal surat.
Pendapat kedelapan, semua perintah dan larangan, janji dan ancaman, halal dan haram. Ketujuh dan kedelapan disebutkan oleh Abu Ya’la.
Adapun mutasyabih, Imam Ibnu al-Jauzi membawakan tujuh pendapat tentangnya.
Pendapat pertama, mutasyabih adalah ayat-ayat yang di-mansukh. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Qotadah, al-Suddi, dan yang lain.
Pendapat kedua, mutasyabih adalah ayat yang tidak bisa diketahui oleh Ulama ilmunya, seperti kapan terjadinya kiamat, pendapat ini dinisbatkan kepada Jabir bin Abdullah.
Pendapat ketiga, huruf yang berada diawal surat, seperti Alif Laam Miim dan yang lainnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.
Pendapat keempat, ayat yang maknanya mengandung kesamaran. Ini adalah pendapat Mujahid.
Pendapat kelima, lafadz-lafadznya berulang. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.
Pendapat keenam, ayat yang multi tafsir. Ini adalah pendapat Ibnu al-Anbari.
Pendapat ketujuh, kisah-kisah dan permisalan. Ini adalah pendapat Abu Ya’la.[11]
4.    Muhkam dan mutasyabih dalam penjelasan al-Fakhru al-Razi (606 H).
Dalam tafsirnya al-Fakhru al-Razi menyebutkan perbedaan pendapat tentang muhkam dan mutasyabih, beliau menukilkan empat pendapat.[12]
Secara garis besar apa yang disebutkan oleh al-Fakhru al-Razi tidak keluar dari apa yang telah disebutkan di atas.

C.  Upaya Mengkompromikan Berbagai Definisi

1.    Muhkam Lebih Banyak Daripada Mutasyabih
Imam al-Syatibi menegaskan bahwa muhkam lebih banyak daripada mutasyabih secara umum. Beliau menyebutkan beberapa dalil pendapat yang meyakinkan bahwa muhkam lebih banyak dari pada mutasyabih.
Alasan pertama, firman Allah Q.S. Alu ‘Imran: 7.
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (
Artinya: “Dialah yang menurunkan al-Kitab kepadamu, diantara isinya ada ayat-ayat muhkamat, itulah ummul kitab dan yang lain mutasyabihat…”
Ayat-ayat muhkam diungkapkan dengan kata umm yang menunjukkan bahwa muhkam adalah mayoritas isi dari al-Qur’an dan ayat-ayat mutasyabihat diungkapkan dengan ukhar yang menunjukkan bahwa mutasyabihat itu sedikit.
Alasan kedua, al-Qur’an diturunkan sebagai penjelas untuk menghilangkan perselisihan umat sebagaimana Q.S. al-Nahl: 44 dan ayat-ayat semakna. Bagaiamana mungkin sesuatu yang sifatnya penjelas banyak mengandung kesamaran.
Alasan ketiga, berdasarkan hasil penelitian, jika seorang mujtahid melakukan penelitian pada dalil-dalil syariat niscaya dalil-dalil tersebut akan terlihat jelas beraturan dan tertata rapi hukum-hukumnya.[13]
Pembahasan ini perlu dimasukkan agar bisa mengetahui alasan kenapa Ulama lebih fokus kepada mutasyabih saat melakukan pengelompokan definisi-definisi muhkam dan mutasyabih, sebagaimana akan didapati pada bahasan berikut.

2.      Definisi-Definisi Para Ulama Tidak Saling Kontradiksi   
Setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih, Syaikh al-Zarqani mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi dalam pendapat-pendapat yang bahkan masing-masing pendapat saling mendekati satu sama lain dan terlihat mirip.[14]
Saat diketahui bahwa al-Qur’an dari satu sisi, muhkam seluruhnya dan mutasyabih seluruhnya, disisi lain al-Qur’an muhkam sebagian dan mutasyabih sebagian, maka lahirlah pengelompokan muhkam dan mutasyabih kepada dua kelompok, muhkam dan mutasyabih ‘am dan muhkam dan mutasyabih khash.
Tidak ada perbedaan pandangan ulama mengenai muhkam dan mutasyabih ‘am, sedang pada muhkam dan mutasyabih khash ada beberapa perbedaan defenisi baik secara redaksi maupun makna. Misalkan, muhkam adalah nasikh dan mutasyabih adalah mansukh, yang lain mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam maksudnya adalah ayat-ayat yang diamalkan, seperti ayat yang me-nasakh atau ayat yang menetapkan sebuah hukum, sedang mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diamalkan yang ayat-ayat yang di-nasakh.
Melihat kenyataan ini, perlu diberikan wadah-wadah khusus untuk masing-masing definisi hingga tercapai apa yang diisyaratkan oleh al-Zurqani.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan, muhkam adalah lawan dari mutasyabih, hingga terlihat senantiasa berpasangan, kecuali pada beberapa definisi, ketidak berpasangan lebih terlihat jelas pada definisi yang dibawakan oleh Ibnu al-Jauzi, delapan definisi untuk muhkam dan tujuh untuk mutasyabih. Ini adalah salah satu kendala yang mungkin mempersulit pengkompromian berbagai definisi.

3.      Metode al-Ragib al-Asfahani (502 H)
Dengan kenyataan ini tawaran pembagian yang dibawakan oleh al-Ragib al-Asfahani terlihat memungkinkan. Terlebih lagi saat al-Ragib al-Asfahani meyakinkan pembaca buku al-Mufradat Fi Garib al-Qur’an bahwa pembagian yang ia buat adalah pembagian yang bisa membawahi semua definisi Ulama.[15] 
Untuk mempermudah pembagian beliau mempergunakan mutasyabih sebagai objek utama, sedangkan muhkam mengikuti keadaan pembagian dan diposisikan sebagai lawan dari mutasyabih.
Al-Raghib menuturkan perihal ayat-ayat mutasyabihat, bahwasanya ayat-ayat al-Qur’an jika disandingakan satu sama lainnya akan terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, sempurna muhkam-nya.
Kedua sempurna mutasyabih-nya.
Ketiga muhkam sebagian dan mutasyabih sebagian.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabih dalam kerangka kalimat ada tiga kelompok, mutasyabih dalam lafadz, mutasyabih dalam makna, dan mutasyabih dalam lafadz sekaligus makna.
Berikut adalah contoh untuk setiap bagian yang disebutkan oleh al-Raghib saat menjelaskan macam-macam tasyabuh.
Tasyabuh di sisi lafadz, ada dua macam:
1.      Penyebab utamanya adalah kosa kata yang dipakai, pada bagian ini ada dua sebab:
a.       Dikarenakan kata tersebut asing dan jarang dipakai: الأبّ (al-abb)[16] dan يزفّون (yaziffun)[17]
b.      Dikarenakan kata tersebut memiliki banyak makna: اليد (al-yad)[18] dan العين (al-‘ain)[19]
2.      Penyebab utamanya adalah susunan kata, pada bagian ini ada beberapa susunan kata:
a.       Susunan kata untuk meringkas kalimat
Allah berfirman dalam Q.S. al-Nisa: 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…”[20]
b.      Susunan kata untuk menjabarkan kalimat
Allah berfirman Q.S. al-Syura: 11.
§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$#
“…tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[21]
c.       Susunan kata untuk menjaga irama dalam kalimat
Allah berfiman Q.S. al-Kahfi:
ß÷Kptø:$# ¬! üÏ%©!$# tAtRr& 4n?tã ÍnÏö7tã |=»tGÅ3ø9$# óOs9ur @yèøgs ¼ã&©! 2%y`uqÏã ÇÊÈ   $VJÍhŠs%
“1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya; 2. sebagai bimbingan yang lurus,…”[22]
Tasyabuh di sisi makna, maksudnya adalah gambaran pasti dari kiamat, Surga, Neraka, sifat-sifat Allah.
Tasyabuh di sisi lafadz sekaligus makna terbagi menjadi lima bagian:
a.       Dilihat dari sisi jumlah, semisal umum dan khusus. Allah berfirman Q.S. al-Taubah: 5.
#sŒÎ*sù yn=|¡S$# ãåkô­F{$# ãPãçtø:$# (#qè=çGø%$$sù tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu …”[23]
b.      Dilihat dari sisi kaifiyat, semisal wajib dan sunnah. Allah berfirman Q.S. al-Nisa: 3.
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi…”[24]
c.       Dilihat dari sisi waktu, semisal nasikh dan mansukh. Allah berfirman Q.S. Alu Imran: 102.
(#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è?
“…bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya…”[25]
d.      Dilihat dari sisi tempat, maksudnya ada beberapa ayat yang tidak bisa ditafsirkan dengan tepat jika tidak mengetahui kebiasaan orang-orang jahiliyah yang berkenaan dengan tempat. Semisal firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah:189[26] dan al-Taubah: 37.
e.       Dilihat dari sisi syarat sah dan tidaknya sebuah amal.[27]  Untuk lebih ringkas berikut tabel pembagiannya[28]:
AL-TASYABUH DI SISI LAFADZ
AL-TASYABUH DI SISI MAKNA
AL-TASYABUH DI SISI LAFADZ SEKALIGUS MAKNA
Disebabkan oleh kosa kata
Disebabkan oleh susunan kata
Berhubungan dengan perkara gaib, seperti: sifat Allah, Surga, dan Neraka.
Dilihat dari sisi jumlah
Dilihat dari sisi kaifiyah (wajib dan nadb)
Dilihat dari sisi waktu (nasikh dan mansukh)
Dilihat dari sisi tempat
Dilihat dari sisi syarat (menilai sah tidaknya sebuah perbuatan)
Karena jarang dipakai dan garib (asing)
Karena termasuk kata yang mengandung  banyak makna
Ikhtishar al-kalam
(Kalimat ringkas)
Basth al-kalam
(Kalimat sederhana)
Nadzm al-Kalam
(Irama)












Pengelompokan yang ditawarkan oleh al-Ragib al-Asfahani berlandaskan sebab, atau dengan ungkapan lain, berlandaskan pertanyaan ‘mengapa dia mutasyabih?’

4.      Metode al-Syathibi (790 H)
Ada pengelompokan lain untuk mewadahi definisi-definisi muhkam dan mutasyabih, yaitu pengelompokan berlandaskan pertanyaan ‘Apakah mungkin untuk di ketahui hakikatnya?’. Pengelompokan ini diutarakan oleh al-Syathibi dalam al-Muwafaqat. Beliau membagi mutasyabih kepada tiga bagian, dua bagian untuk dalil dan satu bagian untuk manath dalil (tempat penerapan dalil).[29]
Mutasyabih pertama adalah mutasyabih yang mustahil diketahui maknanya oleh siapapun, karena Allah ta’ala  tidak menerangkan dalil untuk memahaminya, kalau sekiranya seorang Ahli Ijtihad dalam ranah Ushul syariat melakukan penelitian semaksimal mungkin dia tidak akan menemukan dalil yang bisa me-muhkam-kan (menjelaskan) mutasyabih ini.[30]
Mutasyabih kedua adalah mutasyabih yang mungkin diketahui muhkam-nya akan tetapi hawa nafsu pengkaji dalil membawa si pengkaji mengikuti mutasyabih tanpa mau menghiraukan muhkam.[31]
Mutasyabih ketiga adalah mutasyabih yang terletak pada manath dalil bukan pada dalil. Beliau mencontohkan, dalil haramnya bangkai jelas dan dalil halalnya hewan yang disembelih jelas, akan tetapi saat bercampur daging bangkai dengan daging hewan yang disembelih, terjadilah al-tasyabuh.[32]
Apa yang disampaikan oleh Imam al-Syathibi sudah didahului oleh Ibnu ‘Abbas (68/72 H) radhiallahu ‘anhu, bahkan apa yang dibawakan oleh Ibnu Abbas lebih rinci. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa tafsir terbagi kepada empat jenis.
Pertama, tafsir yang difahami oleh orang Arab dengan bahasa mereka.
Kedua, tafsir yang tidak ada udzur bagi yang tidak mengetahuinya.
Ketiga, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama.
Keempat, tafsir yang tidak mengetahui ilmunya kecuali Allah ta’ala.[33]
D.  Aplikasi Perbedaan Definisi Muhkam dan Mutasyabih dalam Penafsiran
Perbedaan pendapat adalah hal suatu yang pasti terjadi, yang terpenting adalah bagaimana menyikapi perbedaan pedapat tersebut. Pada permasalah perbedaan definisi muhkam dan mutasyabih dalam penafsiran tentulah berakibat pada perbedaan hasil tafsir.

1.      Asal-Usul Perbedaan Pendapat dalam Memahami Mutasyabih
Sebelum memasuki aplikasi perbedaan definisi muhkam dan mutasyabih dalam penafsiran, penting untuk mengetahui landasan perbedaan definisi muhkam dan mutasyabih.
Fahd al-Rumi dalam Dirasat Fi Ulum al-Qur’an menegaskan bahwa asal-usul perbedaan pendapat memaknai mutasyabih adalah perbedaan pendapat dalam memahami makna takwil dalam al-Qur’an.[34]
Takwil bisa dimaknai dengan tafsir, hakikat sesuatu, dan memalingkan makna yang rajih kepada makna marjuh.[35]

2.      Sikap Ulama Terhadap Ayat Mutasyabihat dalam Tafsir
Imam Ibnu al-Qutaibah (276 H) dalam Takwil Musykil al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada seorang Ahli Tafsir pun yang tidak menafsirkan suatu bagian al-Qur’an kemudian mengatakan ayat ini tergolong ayat mutasyabihat dan tidak ada yang tahu maknanya kecuali Allah ta’ala. Bahkan yang terjadi huruf-huruf Muqaththa’ah sekalipun ditafsirkan.[36]
Penuturan Imam Ibnu Qutaibah diatas menggambarkan bahwa perbedaan pendapat mengenai definisi muhkam dan mutasyabih tidak terlalu berpengaruh dalam buku-buku tafsir di zaman beliau, Abad kedua setelah Hijrah.
Berbeda halnya di zaman Imam al-Alusi (1270 H), beliau justru menuturkan kebalikan dari pernyataan Imam Ibnu al-Qutaibah, banyak orang menjadikan ayat yang membicarakan sifat-sifat Allah sebagai ayat mutasyabihat.[37] Pernyataan Imam al-Alusi menggambarkan betapa besar pergeseran metode penafsiran setelah berlalu sekitar sembilan abad.

3.      Ayat-Ayat Sifat Termasuk Muhkamat dan Mutasyabihat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya, diantara ayat yang dijelaskan oleh Rasulullah adalah ayat-ayat sifat. Berikut contoh penafsiran terhadap ayat-ayat yang membicarakan sifat Allah ta’ala.
عَنْ أَبِي يُونُسَ سُلَيْمُ بْنُ جُبَيْرٍ مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} [النساء: 58] إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى {سَمِيعًا بَصِيرًا} [النساء: 58] قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ إِبْهَامَهُ عَلَى أُذُنِهِ، وَالَّتِي تَلِيهَا عَلَى عَيْنِهِ»، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا وَيَضَعُ إِصْبَعَيْهِ»
Artinya: “Dari Abu Yunus Sulaim bin Jubair Maula Abi Hurairah, ia berkata, Aku mendengan Abu Hurairah membaca ayat {Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya}[al-Nisa: 58] sampai firman Allah ta’ala  {Maha mendengar lagi Maha melihat}[al-Nisa: 58], Abu Hurairah berkata, Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya pada telinga dan telunjuk pada matanya, Abu Hurairah berkata, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut dan meletakkan dua jarinya (di mata dan telinga -pent).”(HR. Abu Daud)[38]
Imam Bukhari (256 H) menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah ta’ala, beliau menukil perkataan Abu al-‘Aliyah, Mujahid, dan yang lainnya.
قَالَ أَبُو العَالِيَةِ: {اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ} [البقرة: 29] «ارْتَفَعَ»، ... وَقَالَ مُجَاهِدٌ: {اسْتَوَى} «عَلاَ» {عَلَى العَرْشِ} [الأعراف: 54]
 Artinya: Berkata Abu al-‘Aliyah: {Allah ber-istiwa ke langit}[al-Baqarah: 29] Irtafa’ (naik)[39], … Mujahid berkata: {Allah ber-istiwa}«tinggi»[40]{diatas ‘Arsy}[al-A’raf: 54][41]
Beberapa contoh diatas dan beberapa definisi dan kenyataan yang disebutkan oleh para ulama menunjukkan bahwa ayat sifat termasuk kedalam ayat muhkam karena telah ditafsirkan maknanya.
Imam Malik (179 H) memberikan kaidah dalam menyikapi ayat-ayat sifat, beliau mengatakan, al-istiwa’[42] ma’lum[43], dan kaif[44]-nya majhul[45],mempertanyakan kaif adalah bid’ah.[46]
Melalui kaidah yang diberikan oleh Imam Malik dapat dikatakan bahwa ayat dan hadis yang membicarakan sifat Allah muhkam dari sisi makna dan mutasyabih dari sisi keadaan sebenarnya.














E.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Perbedaan definisi muhkam dan mutasyabih tidak mempengaruhi hasil tafsir pada masa-masa ulama terdahulu.
2.      Tidak ada satu huruf al-Qur’an yang luput dari penafsiran ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah.
3.      Muhkam lebih banyak dari pada mutasyabih
4.      Mutasyabih terlarang untuk dipertanyakan adalah mutasyabih yang tidak mengetahui ilmunya kecuali Allah ta’ala.
5.      Ayat yang membicarakan sifat-sifat Allah ta’ala  muhkam maknanya dan mutasyabih kaif-nya.
6.      Berikut tabel untuk mempermudah gambaran muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an.
Al-Qur'an antara Muhkam dan Mutasyabih
SIFAT AYAT
MUHKAM
MUTASYABIH
LETAK SIFAT
Semua isi
al-Qur’an
Sebagian isi
al-Qur’an
Semua isi
al-Qur’an
Sebagian isi
al-Qur’an
DALIL SIFAT
Q.S. Hud: 1
Q.S. Alu Imran: 7
Q.S. al-Zumar: 23
Q.S. Alu Imran: 7
JUMLAH
semua
Paling banyak
(أم الكتاب)
semua
Sedikit
(أخر)
MAKSUD SIFAT
sempurna tidak mengandung cacat dan kekurangan pada lafadz dan makna
(lihat. Hlm. 5)
Lihat definisi
Muhkam
(hlm. 3-6)
serupa satu dengan yang lainnya dalam kefasihan, mukjizat, tidak saling kotradiksi, keindahan lafadz, dan pengambilan hukum (lihat. Hlm. 6)
Lihat definisi
Mutasyabih
(hlm. 3-6)







DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman, (1986) Ushul al-Tafsir Wa Qawa’iduhu, cet. II, Beirut: Dar al-Nafais.

Al-Asfahani, Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad, al-Mufradat Fi Garib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il, (1990) Maqalat al-Islamiyin Wa Ikhtilaf al-Mushallin, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah.

Al-Bagdadi, al-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Dar Ihya al-Turats.

Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, Bait al-Afkar al-Dauliah.

Al-Dinawari, Abdullah bin Muslim bin al-Qutaibah, (2007) Takwil Musykil al-Qur’an, cet.II, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Jauzy, Abu al-Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali, (2002) Zad al-Masir Fi Ilmi al-Tafsir, cet. I, Beirut: Dar Ibn Hazm dan al-Maktab al-Islami.

Al-Qaththan, Manna’ Khalil, ( 2001) Studi Ilmu–Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Al-Razi, Fakhru al-Din Muhammad bin Umar, (1981) Tafsir al-Fakhr al-Razi, cet. I, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, (2005) Dirasat Fi Ulumi al-Qur’an, cet. XIV, Riyadh: t.p.

Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Daud, Bait al-Afkar al-Dauliah.

Al-Syathibi, Abu  Ishaq Ibrahim bin Musa, (1997) al-Muwafaqat, cet. I, KSA: Dar Ibn ‘Affan.

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, (2001) Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, cet. I, Kairo: Dar Hajr.

Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad bin Abdullah, (2006) al-Burhan Fi Ulumi al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadits.

Al-Zarqani, Muhammad Abdul ‘Adzim, (1995) Manahilu al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, cet.I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Anwar, Rosihon, ( 2004), Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Media.
Ash-shiddieqy, Muhammad Hasbi, (1993)Ilmu –Ilmu Al Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang.

Munawwir, Ahmad Warson, (1997) al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif.





[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1361.
[2] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, Juz: II (Cet. I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), hlm. 213.
[3] Khalid Abdurrahman al-‘Ik, Ushul al-Tafsir Wa Qawa’iduhu, (Cet. II, Beirut: Dar al-Nafais, 1986), hlm. 291.
[4] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, loc. cit.
[5] Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Dirasat Fi Ulum al-Qur’an, (cet. XIV, Riyadh, 2005), hlm. 509.
[6] Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah: 25, 70, dan 118.
[7] Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, op.cit. hlm. 510.
[8] Fakhru al-Din Muhammad bin Umar Al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi, Juz: 7 (cet. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 180.
[9] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, Juz: V, (cet. I, Kairo, 2001), hlm. 192-199.
[10] Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin Wa Ikhtilaf al-Mushallin, Juz: I, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1990), hlm. 293-294.
[11] Abul Faraj Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi, Zad al-Masir Fi Ilmi al-Tafsir, (cet. I, Beirut: Dar Ibn Hazm dan al-Maktab al-Islami,2002) hlm.178.
[12] Fakhru al-Din Muhammad bin Umar Al-Razi, op.cit. hlm. 183-184.
[13] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-Syathibi, al-Muwafaqat (cet. I, KSA: Dar Ibn ‘Affan,1997), hlm. 307-308.
[14] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, op.cit. hlm. 217.
[15] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad al-Asfahani, al-Mufradat Fi Garib al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma’rifah), hlm. 255.
[16] Rumput, ada yang berpendapat al-abb adalah salah satu jenis makanan hewan yang digembala.
[17] Berjalan cepat/bergegas.
[18] Bisa bermakna tangan, nikmat, kekuatan, mata-mata, dan lainnya
[19] Bisa bermakna mata, mata air, dan lainnya
[20] Bentuk tasyabuh yang ada pada ayat ini adalah kesulitan memahami hubungan syarat dengan jawab syarat, karena lafadz yang dipergunakan adalah اليتامى (yatim laki-laki dan perempuan) bukan اليتيمات (yatim perempuan).
[21] Bentuk tasyabuh dalam ayat ini adalah adanya huruf ك (kaf) pada kata كمثله (kamitslihi), padahal kalau Allah menghendaki bisa saja tanpa hurup kaf dan lebih mudah difahami oleh orang yang mendengarkannya.
[22] Tasyabuh dalam ayat ini ketika susunan yang mudah difahami tidak dipakai akan tetapi lebih dipilih susunan yang memiliki gaya bahasa (baca: irama).
[23]Keumuman ayat ada pada kata al-musyrikin (orang-orang musyrik), tidak ada penyebutan jumlah yang harus dibunuh, namun yang hanya ada penyebutan batasan waktu dan jenis yang tidak boleh di bunuh semisal wanita dan orang tua. Pada akhirnya ayat menjadi mutasyabih dari sisi jumlah.
[24] Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menikah dengan jumlah tertentu, namun hukum dari perintah ini tidak bisa dipukul rata pada semua orang dengan satu jenis hukum. Pada akhirnya ayat ini mutasyabih dalam hukum antara wajib dan sunnahnya seseorang untuk menikah.
[25] Ayat ini menurut salah satu pendapat adalah ayat yang sudah mansukh oleh Q.S. al-Tagabun: 16. Pada akhirnya jika dilihat dari sisi kapan ayat ini  diturunkan maka ayat ini menjadi ayat yang mutasyabih dari sisi waktu.
[26] Selama seseorang tidak mengetahui kebiasaan orang jahiliyah maka ayat tersebut akan tetap mutasyabih baginya.
[27] Ayat-ayat yang memerintahkan untuk shalat dan puasa muhkam, akan tetapi jika ditanyakan bagaimana syarat-syaratnya, maka akan muncul tasyabuh dari sisi ini. Pada akhirnya ayat tersebut menjadi mutasyabih dari sisi syarat.
[28] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad al-Asfahani, op.cit., hlm. 254-255.
[29] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-Syathibi, op.cit. hlm. 315.
[30] Diantara contoh bagian ini adalah waktu turunnya Isa, waktu keluarnya Dabbah, dan yang semisalnya.
[31] Imam al-Syathibi mencontohkan dengan kesesatan kaum Jabariyah ketika mereka hanya berpegang dengan firman Allah Q.S. al-Shafat: 97 dan meninggalkan Q.S. al-Taubah: 82 dan 95. 
[32] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-Syathibi, op.cit. hlm. 315-318.
[33] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari,, op cit.vol. I, hlm. 70.
[34] Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, op.cit. hlm. 516.
[35] Ibid, hlm. 517-520.
[36] Abdullah bin Muslim bin al-Qutaibah al-Dinawari, Takwil Musykil al-Qur’an (cet.II, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), hlm. 67.
[37] Al-Sayyid Mahmud al-Alusi Al-Bagdadi, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz: III, (Beirut: Dar Ihya al-Turats), hlm. 87
[38] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Bait al-Afkar al-Dauliah), hlm. 515.
[39] Ahmad Warson Munawwir, op.cit. hlm. 516.
[40] Ibid, hlm. 986.
[41] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Bait al-Afkar al-Dauliah) hlm. 1413.
[42] Salah satu sifat Allah.
[43] Ma’lum: diketahui maknanya.
[44] Kaif: keadaan, bagaimana?
[45] Majhul: tidak diketahui.
[46] Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, op.cit. hlm. 227.

Comments

Popular posts from this blog

TOOLS ONLINE YANG WAJIB DIKETAHUI

CONTOH LAPORAN AKTUALISASI CPNS

contoh soal hijaiyyah kelas 2 sekolah dasar semester 2